Eks Mendag Tom Lembong Divonis 4,5 Tahun Penjara Kasus Impor Gula: Antara Hukum dan Politik

Tom Lembong mengenakan rompi tahanan merah muda di persidangan

Jakarta – Mantan Menteri Perdagangan periode 2015–2016, Thomas Trikasih “Tom” Lembong, resmi divonis 4 tahun 6 bulan penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas kasus korupsi dalam kebijakan impor gula. Meski dalam persidangan hakim menyatakan Tom tidak menikmati hasil korupsi, vonis tetap digelar karena prosedur legal diabaikan.

Detail Vonis dan Pertimbangan Hakim

Majelis hakim menilai Tom terbukti aktif menerbitkan izin impor gula kepada pihak swasta tanpa prosedur yang tepat, padahal saat itu stok gula di Indonesia surplus sebesar 2,49 juta ton, sementara konsumsi hanya 2,12 juta ton.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP, hakim menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta—denda akan diganti 6 bulan kurungan jika tidak dibayar.

Kerugian negara disimpulkan mencapai hampir Rp 578 miliar, meski tidak ada bukti langsung Tom memperoleh keuntungan pribadi.


Argumen Pembelaan yang Dicoret Hakim

Tim kuasa hukum Tom mengajukan pledoi dengan poin bahwa tidak adanya “mens rea” atau niat jahat dalam perbuatan kliennya. Mereka juga mengklaim kerugian negara didasarkan simulasi audit bukan realisasi nyata. Namun, hakim menolak argumen tersebut karena Tom dinilai telah mengutamakan kapitalistik ketimbang keadilan sosial serta membuat keputusan sepihak tanpa koordinasi lembaga terkait.


Konteks Politik dan Tuduhan Motif Politik

Kasus ini berpotensi menimbulkan kontroversi politik karena:

Tom Lembong sempat mendukung Anies Baswedan dalam Pemilu 2024 dan sempat menjabat sebagai manajer kampanye pesaing Prabowo Subianto.

Ia ditangkap oleh Kejaksaan Agung beberapa hari setelah Prabowo dilantik sebagai presiden pada Oktober 2024.

Beberapa pengamat menilai penangkapan dan vonis ini bentuk aksi politi bersih-bersih atau intimidasi terhadap tokoh oposisi, terutama karena kerugian negara dianggap “tidak nyata” secara hukum.


Perbedaan antara Kerugian Nyata dan Kerugian Potensial

Kasus ini mengundang kontroversi karena hakim tetap mengambil dasar audit visual—walaupun tidak ada aliran dana atau penyalahgunaan struktur keuangan.

Para pendukung Tom mengkritik hakim karena mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi 2016 yang mensyaratkan kerugian negara harus bersifat aktual, bukan hanya potensi atau asumsi.

Editor opini menyoroti bahwa penerapan pasal “karet” ini berpotensi merusak persepsi hukum dan memperlemah kepercayaan publik serta investor.


Apa Selanjutnya? Banding atau Tidak?

Tom melalui kuasa hukumnya menyatakan akan mempertimbangkan banding ke tingkat yang lebih tinggi. “Hakim telah mengabaikan pertimbangan tim pembela,” ujar Tom pasca vonis. Saat ini, jaksa agung juga menyatakan akan menghormati putusan tersebut namun tidak menutup kemungkinan banding.


Implikasi terhadap Investasi dan Demokrasi

Sejumlah investor asing telah menyuarakan keprihatinan karena kasus ini dianggap contoh tren political legal policing yang memberi sinyal negatif tentang stabilitas regulasi dan proteksi politik di Indonesia.

Terima kasih atas masukannya

Lebih baru Lebih lama

Terkini