Gerakan 30 September (G30S) adalah sebuah peristiwa
berlatarbelakang kudeta yang terjadi selama satu malam pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965 yang
mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer
Indonesia dan jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur
lama di area Lubang Buaya, Jakarta
Timur.[1] Penyebutan persitiwa ini memiliki ragam jenis, Presiden Soekarno menyebut peristiwa ini dengan
istilah GESTOK (Gerakan Satu Oktober), sementara
Presiden Soeharto menyebutnya dengan istilah GESTAPU (Gerakan
September Tiga Puluh), dan pada Orde Baru, Presiden Soeharto mengubah sebutannya
menjadi G30S/PKI (Gerakan 30 September PKI).
Latar
belakang
Partai Komunis
Indonesia (PKI) merupakan partai komunis[2] terbesar di seluruh dunia di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya
berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga
mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan para petani anggota Barisan Tani
Indonesia yang berjumlah 9 juta anggota. Termasuk pergerakan
wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis serta
pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan.
Kemudian, Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret presiden – sekali lagi
dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno
menjalankan sistem "Demokrasi Terpimpin".
PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno dengan hangat dan
anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara
Nasionalis, Agama dan Komunis yang dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin",
kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan
pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal mengatasi
masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor
menurun, foreign reserves menurun, inflasi terus menaik, serta
korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.
Angkatan
kelima
Pada kunjungan Menlu Subandrio ke Tiongkok, Perdana Menteri Zhou Enlai menjanjikan 100.000 pucuk
senjata jenis chung, penawaran ini gratis tanpa syarat dan kemudian
dilaporkan ke Bung Karno tetapi belum juga menetapkan waktunya sampai
meletusnya G30S.
Pada awal tahun 1965, Bung Karno atas saran
dari PKI akibat dari tawaran perdana menteri RRC, mempunyai ide tentang Angkatan Kelima yang berdiri sendiri
terlepas dari ABRI. Akan tetapi, petinggi Angkatan Darat tidak setuju dan hal
ini lebih menimbulkan nuansa curiga-mencurigai antara militer dan PKI.
Dari tahun 1963,
kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha memprovokasi bentrokan-bentrokan
antara aktivis massanya dengan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI juga
menginfiltrasi polisi dan tentara dengan slogan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI DN Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketentraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964,
Aidit menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subjek karya-karya
mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ribuan
petani anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) bergerak merampas tanah dengan dasar
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dengan polisi dan para pemilik
tanah.
Bentrokan-bentrokan tersebut dipicu oleh
propaganda PKI yang menyatakan bahwa petani berhak atas setiap tanah, tidak
peduli tanah siapapun (milik negara = milik
bersama). Kemungkinan besar PKI meniru revolusi Bolsevik di Rusia, di mana di
sana rakyat dan partai komunis menyita milik
Tsar dan membagi-bagikannya kepada rakyat.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai
menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat. Kepemimpinan PKI menjawab ini
dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama,
jenderal-jenderal militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Jenderal-jenderal tersebut masuk
kabinet karena jabatannya di militer oleh Sukarno disamakan dengan setingkat
menteri. Hal ini dapat dibuktikan dengan nama jabatannya (Menpangab, Menpangad,
dan lain-lain).
Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di
sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus
mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan bersenjata adalah
merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".[3]
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa
sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan
kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara
Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para
komunis".
Rezim Sukarno mengambil langkah terhadap
para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan PKI
tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan
NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas
persiapan-persiapan untuk pembentukan rezim militer, menyatakan keperluan untuk
pendirian "angkatan kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang
terdiri dari pekerja dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan
mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang
berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan
massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jenderal-jenderal militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat
negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa
"NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI
tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatus militer dan negara
sedang diubah untuk mengecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara.
Isu
sakitnya Bung Karno
Sejak tahun 1964 sampai menjelang meletusnya
G30S telah beredar isu sakit parahnya Bung Karno. Hal ini meningkatkan
kasak-kusuk dan isu perebutan kekuasaan apabila Bung Karno meninggal dunia.
Namun menurut Subandrio, Aidit tahu persis bahwa Bung Karno hanya sakit ringan
saja, jadi hal ini bukan merupakan alasan PKI melakukan tindakan tersebut.
Isu
masalah tanah dan bagi hasil
Pada tahun 1960 keluarlah Undang-Undang
Pokok Agraria dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun
1948. Panitia Agraria yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan
wakil berbagai ormas tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa
itu. Walaupun undang-undangnya sudah ada namun pelaksanaan di daerah tidak
jalan sehingga menimbulkan gesekan antara para petani penggarap dengan pihak
pemilik tanah yang takut terkena UUPA, melibatkan sebagian massa pengikutnya
dengan melibatkan backing aparat keamanan. Peristiwa yang menonjol dalam rangka
ini antara lain peristiwa Bandar Betsi di Sumatra Utara dan peristiwa di Klaten
yang disebut sebagai ‘aksi sepihak’ dan kemudian digunakan sebagai dalih oleh
militer untuk membersihkannya. Keributan antara PKI dan Islam (tidak hanya NU,
tetapi juga dengan Persis dan Muhammadiyah) itu pada dasarnya terjadi di hampir
semua tempat di Indonesia, di Jawa Barat, Jawa Timur, dan di provinsi-provinsi
lain juga terjadi hal demikian.
Faktor
Malaysia
Negara Federasi Malaysia yang baru terbentuk pada tanggal 16 September 1963 adalah salah satu faktor penting dalam insiden ini.[4] Konfrontasi Indonesia-Malaysia merupakan salah satu penyebab kedekatan Presiden Soekarno dengan PKI, menjelaskan motivasi para tentara yang menggabungkan diri dalam gerakan G30S/Gestok (Gerakan Satu Oktober), dan juga pada akhirnya menyebabkan PKI melakukan penculikan petinggi Angkatan Darat.
Soekarno
yang murka karena hal itu mengutuk tindakan Tunku yang menginjak-injak lambang negara Indonesia[5] dan ingin melakukan balas dendam dengan melancarkan gerakan yang
terkenal dengan sebutan "Ganyang Malaysia" kepada negara Federasi Malaysia yang telah sangat
menghina Indonesia dan presiden Indonesia. Perintah Soekarno kepada Angkatan
Darat untuk meng"ganyang Malaysia" ditanggapi dengan dingin oleh para
jenderal pada saat itu. Di satu pihak Letjen Ahmad Yani tidak ingin melawan Malaysia
yang dibantu oleh Inggris dengan anggapan bahwa tentara Indonesia pada saat itu
tidak memadai untuk peperangan dengan skala tersebut, sedangkan di pihak
lain Kepala Staf
TNI Angkatan Darat A.H. Nasution setuju dengan usulan
Soekarno karena ia mengkhawatirkan isu Malaysia ini akan ditunggangi oleh PKI
untuk memperkuat posisinya di percaturan politik di Indonesia.
Posisi Angkatan Darat pada saat itu serba
salah karena di satu pihak mereka tidak yakin mereka dapat mengalahkan Inggris,
dan di lain pihak mereka akan menghadapi Soekarno yang mengamuk jika mereka
tidak berperang. Akhirnya para pemimpin Angkatan Darat memilih untuk berperang
setengah hati di Kalimantan. Tak heran,
Brigadir Jenderal Suparjo, komandan pasukan di Kalimantan Barat, mengeluh, konfrontasi tak
dilakukan sepenuh hati dan ia merasa operasinya disabotase dari belakang.[6] Hal ini juga dapat dilihat dari kegagalan operasi gerilya di
Malaysia, padahal tentara Indonesia sebenarnya sangat mahir dalam peperangan
gerilya.
Mengetahui bahwa tentara Indonesia tidak mendukungnya, Soekarno merasa kecewa dan berbalik mencari dukungan PKI untuk melampiaskan amarahnya kepada Malaysia. Soekarno, seperti yang ditulis di otobiografinya, mengakui bahwa ia adalah seorang yang memiliki harga diri yang sangat tinggi, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk mengubah keinginannya meng"ganyang Malaysia".
Di
pihak PKI, mereka menjadi pendukung terbesar gerakan "ganyang
Malaysia" yang mereka anggap sebagai antek Inggris, antek nekolim. PKI juga memanfaatkan kesempatan itu
untuk keuntungan mereka sendiri, jadi motif PKI untuk mendukung kebijakan
Soekarno tidak sepenuhnya idealis.
Pada saat PKI memperoleh angin segar, justru
para penentangnyalah yang menghadapi keadaan yang buruk; mereka melihat posisi
PKI yang semakin menguat sebagai suatu ancaman, ditambah hubungan internasional
PKI dengan Partai Komunis sedunia,
khususnya dengan adanya poros Jakarta-Beijing-Moskow-Pyongyang-Phnom Penh. Soekarno juga mengetahui hal ini,
namun ia memutuskan untuk mendiamkannya karena ia masih ingin meminjam kekuatan
PKI untuk konfrontasi yang sedang berlangsung, karena posisi Indonesia yang
melemah di lingkungan internasional sejak keluarnya Indonesia dari PBB (7 Januari 1965).
Dari sebuah dokumen rahasia badan intelejen
Amerika Serikat (CIA) yang baru dibuka yang bertanggalkan 13 Januari 1965 menyebutkan sebuah
percakapan santai Soekarno dengan para pemimpin sayap kanan bahwa ia masih
membutuhkan dukungan PKI untuk menghadapi Malaysia dan oleh karena itu ia tidak
bisa menindak tegas mereka. Namun ia juga menegaskan bahwa suatu waktu
"giliran PKI akan tiba. "Soekarno berkata, "Kamu bisa menjadi
teman atau musuh saya. Itu terserah kamu. … Untukku, Malaysia itu musuh nomor
satu. Suatu saat saya akan membereskan PKI, tetapi tidak sekarang."[5]
Dari pihak Angkatan Darat, perpecahan
internal yang terjadi mulai mencuat ketika banyak tentara yang kebanyakan dari
Divisi Diponegoro yang kesal serta kecewa kepada sikap petinggi Angkatan Darat
yang takut kepada Malaysia, berperang hanya dengan setengah hati, dan
berkhianat terhadap misi yang diberikan Soekarno. Mereka memutuskan untuk
berhubungan dengan orang-orang dari PKI untuk membersihkan tubuh Angkatan Darat
dari para jenderal ini.
Faktor
Amerika Serikat
Amerika Serikat pada waktu itu sedang
terlibat dalam perang Vietnam dan
berusaha sekuat tenaga agar Indonesia tidak jatuh ke tangan komunisme. Peranan badan intelejen Amerika
Serikat (CIA) pada peristiwa ini sebatas memberikan 50
juta rupiah (uang saat itu) kepada Adam Malik dan walkie-talkie serta obat-obatan
kepada tentara Indonesia. Politisi Amerika pada bulan-bulan yang menentukan ini
dihadapkan pada masalah yang membingungkan karena mereka merasa ditarik oleh
Sukarno ke dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia ini.
Salah satu pandangan mengatakan bahwa
peranan Amerika Serikat dalam hal ini tidak besar, hal ini dapat dilihat dari
telegram Duta Besar Green ke Washington pada tanggal 8 Agustus 1965 yang mengeluhkan bahwa
usahanya untuk melawan propaganda anti-Amerika di Indonesia tidak memberikan
hasil bahkan tidak berguna sama sekali. Dalam telegram kepada Presiden Johnson
tanggal 6 Oktober, agen CIA menyatakan
ketidakpercayaan kepada tindakan PKI yang dirasa tidak masuk akal karena
situasi politis Indonesia yang sangat menguntungkan mereka, dan hingga akhir
Oktober masih terjadi kebingungan atas pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali dilakukan
oleh PKI atau NU/PNI.
Pandangan lain, terutama dari kalangan
korban dari insiden ini, menyebutkan bahwa Amerika menjadi aktor di balik layar
dan setelah dekret Supersemar Amerika memberikan daftar nama-nama anggota PKI
kepada militer untuk dibunuh. Namun hingga saat ini kedua pandangan tersebut
tidak memiliki banyak bukti-bukti fisik.
Faktor
ekonomi
Ekonomi masyarakat Indonesia pada waktu itu
yang sangat rendah mengakibatkan dukungan rakyat kepada Soekarno (dan PKI)
meluntur. Mereka tidak sepenuhnya menyetujui kebijakan "ganyang
Malaysia" yang dianggap akan semakin memperparah keadaan Indonesia.
Inflasi yang mencapai 650% membuat harga
makanan melambung tinggi, rakyat kelaparan dan terpaksa harus antre beras,
minyak, gula, dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Beberapa faktor yang
berperan kenaikan harga ini adalah keputusan Suharto-Nasution untuk menaikkan
gaji para tentara 500% dan penganiayaan terhadap kaum pedagang Tionghoa yang
menyebabkan mereka kabur. Sebagai akibat dari inflasi tersebut, banyak rakyat
Indonesia yang sehari-hari hanya makan bonggol pisang, umbi-umbian, gaplek,
serta bahan makanan yang tidak layak dikonsumsi lainnya; pun mereka menggunakan
kain dari karung sebagai pakaian mereka.
Faktor ekonomi ini menjadi salah satu sebab
kemarahan rakyat atas pembunuhan keenam jenderal tersebut, yang berakibat
adanya backlash terhadap PKI dan pembantaian orang-orang yang
dituduh anggota PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali serta tempat-tempat
lainnya.
Peristiwa
Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal
senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para
pengawal istana (Cakrabirawa) yang
dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol. Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan
Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Isu
Dewan Jenderal
Pada saat-saat yang genting sekitar bulan
September 1965 muncul isu adanya Dewan Jenderal yang mengungkapkan adanya
beberapa petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat
untuk menggulingkannya. Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut
memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk
diadili oleh Soekarno. Namun yang tidak diduga-duga, dalam operasi penangkapan
jenderal-jenderal tersebut, terjadi tindakan beberapa oknum yang termakan emosi
dan membunuh Letjen Ahmad Yani, Panjaitan, dan Harjono.
Isu
Dokumen Gilchrist
Dokumen Gilchrist yang diambil dari nama
duta besar Inggris untuk Indonesia Andrew Gilchrist beredar hampir bersamaan
waktunya dengan isu Dewan Jenderal. Dokumen ini, yang oleh beberapa pihak
disebut sebagai pemalsuan oleh intelejen Ceko di
bawah pengawasan Jenderal Agayant dari KGB Rusia,
menyebutkan adanya "Our local army friends" (Teman tentara
lokal kita) yang mengesankan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat telah dibeli
oleh pihak Barat.[7] Kedutaan Amerika Serikat juga dituduh memberikan daftar nama-nama
anggota PKI kepada tentara untuk "ditindaklanjuti". Dinas intelejen
Amerika Serikat mendapat data-data tersebut dari berbagai sumber, salah satunya
seperti yang ditulis John Hughes, wartawan The Nation yang menulis buku "Indonesian
Upheaval", yang dijadikan basis skenario film "The Year of
Living Dangerously", ia sering menukar data-data apa yang ia kumpulkan
untuk mendapatkan fasilitas teleks untuk mengirimkan berita.
Isu
Keterlibatan Soeharto
Hingga saat ini tidak ada bukti
keterlibatan/peran aktif Soeharto dalam aksi penculikan tersebut. Satu-satunya
bukti yang bisa dielaborasi adalah pertemuan Soeharto yang saat itu menjabat
sebagai Pangkostrad (pada zaman itu jabatan Panglima Komando Strategis Cadangan
Angkatan Darat tidak membawahi pasukan, berbeda dengan sekarang) dengan
Kolonel Abdul Latief di
Rumah Sakit Angkatan Darat.
Meski demikian, Suharto merupakan pihak yang
paling diuntungkan dari peristiwa ini. Banyak penelitian ilmiah yang sudah
dipublikasikan di jurnal internasional mengungkap keterlibatan Suharto dan CIA.
Beberapa diantaranya adalah, Cornell Paper, karya Benedict R.O'G. Anderson
and Ruth T. McVey (Cornell University), Ralph McGehee (The Indonesian Massacres
and the CIA), Government Printing Office of the US (Department of State, INR/IL
Historical Files, Indonesia, 1963–1965. Secret; Priority; Roger Channel;
Special Handling), John Roosa (Pretext for Mass Murder: The September 30th
Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia), Prof. Dr. W.F. Wertheim
(Serpihan Sejarah Thn 1965 yang Terlupakan).
Korban
Tujuh korban peristiwa G30S/PKI tersebut
adalah:
Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima
Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)
Mayor
Jenderal TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD
bidang Administrasi)
Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi
III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)
Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman (Asisten
I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)
Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten
IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)
Brigadir Jenderal TNI
Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal
Angkatan Darat)
Letnan Satu Pierre Andreas Tendean (ajudan
Jenderal Abdul Harris Nasution yang
tewas karena pasukan PKI mengira ia adalah Jenderal Nasution)
Para korban tersebut kemudian dibuang dan
dikubur ke suatu sumur lama di area Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya dan jenazah mereka ditemukan
pada 3 Oktober 1965.
Setelah
itu
Pascapembunuhan beberapa perwira TNI AD, PKI
mampu menguasai dua sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di
Jalan Merdeka Barat dan Kantor Telekomunikasi yang terletak di Jalan
Merdeka Selatan.[butuh
rujukan] Melalui
RRI, PKI menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan
kepada para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta
terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang diketuai
oleh Letkol Untung Sutopo.
Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI
membunuh Kolonel Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta).[butuh
rujukan] Mereka
diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965. Kedua perwira ini dibunuh karena
secara tegas menolak berhubungan dengan Dewan Revolusi. Pada tanggal 1 Oktober 1965 Sukarno dan sekretaris
jenderal PKI Aidit menanggapi pembentukan Dewan Revolusioner oleh para
"pemberontak" dengan berpindah ke Pangkalan
Angkatan Udara Halim di Jakarta untuk mencari perlindungan.
Pada tanggal 6 Oktober Sukarno mengimbau rakyat untuk
menciptakan "persatuan nasional", yaitu persatuan antara angkatan
bersenjata dan para korbannya, dan penghentian kekerasan. Biro Politik dari
Komite Sentral PKI segera menganjurkan semua anggota dan organisasi-organisasi
massa untuk mendukung "pemimpin revolusi Indonesia" dan tidak melawan
angkatan bersenjata. Pernyataan ini dicetak ulang di koran CPA bernama
"Tribune".
Pada tanggal 12 Oktober 1965, pemimpin-pemimpin
Uni-Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim pesan khusus untuk
Sukarno: "Kita dan rekan-rekan kita bergembira untuk mendengar bahwa
kesehatan anda telah membaik...Kita mendengar dengan penuh minat tentang pidato
anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tetap tenang dan menghindari
kekacauan...Imbauan ini akan dimengerti secara mendalam."
Pada tanggal 16 Oktober 1965, Sukarno melantik Mayjen Suharto menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat di Istana Negara. Berikut kutipan amanat presiden Sukarno kepada Suharto pada saat Suharto disumpah:[8]
Dalam
sebuah Konferensi Tiga Benua di Havana pada bulan Februari 1966,
perwakilan Uni-Sovyet berusaha untuk menghindari pengutukan atas pembantaian
orang-orang yang dituduh sebagai PKI, yang sedang terjadi terhadap rakyat
Indonesia. Pendirian mereka mendapatkan pujian dari rezim Suharto. Parlemen
Indonesia mengesahkan resolusi pada tanggal 11 Februari, menyatakan "penghargaan
penuh" atas usaha-usaha perwakilan-perwakilan dari Nepal, Mongolia,
Uni-Soviet dan negara-negara lain di Konperensi Solidaritas Negara-Negara
Afrika, Asia dan Amerika Latin, yang berhasil menetralisir usaha-usaha para
kontra-revolusioner apa yang dinamakan pergerakan 30 September, dan para
pemimpin dan pelindung mereka, untuk bercampur-tangan di dalam urusan dalam
negeri Indonesia."
Penangkapan
dan pembantaian
Beberapa bulan setelah peristiwa ini,
seluruh anggota dan pendukung PKI, orang orang yang diduga anggota dan
simpatisan PKI, seluruh partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja serta petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp
tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi
di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan
Desember). Jumlah orang yang dibantai belum diketahui secara pasti – perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut
dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang
menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara,
kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti
barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi
penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu "terbendung
mayat".
Pada akhir 1965, antara lima ratus ribu
sampai dengan satu juta anggota dan pendukung-pendukung PKI telah menjadi
korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp
konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer
yang didukung dana CIA [1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time"
memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan
dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan
sanitasi yang serius di Sumatra Utara, di mana udara yang lembap membawa bau
mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita
tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat.
Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali,
yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi
korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional
Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden
khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita tentang
mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang
desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan
kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa
untuk membunuh teman-teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di
kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi.
Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok
sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan
petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000
orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969.
Eksekusi-eksekusi masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak
tahun 1980-an. Empat tapol, Johannes Surono
Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan Nobertus
Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
Supersemar
Lima bulan setelah itu, pada tanggal 11 Maret 1966,
Sukarno memberi Suharto kekuasaan tak terbatas melalui Surat Perintah
Sebelas Maret. Ia memerintah Suharto untuk mengambil
"langkah-langkah yang sesuai" untuk mengembalikan ketenangan dan
untuk melindungi keamanan pribadi dan wibawanya. Kekuatan tak terbatas ini
pertama kali digunakan oleh Suharto untuk melarang PKI. Sebagai penghargaan
atas jasa-jasanya, Sukarno dipertahankan sebagai presiden tituler
diktatur militer itu sampai Maret 1967.
Kepemimpinan PKI terus mengimbau massa agar
menuruti kewenangan rejim Sukarno-Suharto. Aidit, yang telah melarikan diri,
ditangkap dan dibunuh oleh TNI pada tanggal 24 November, tetapi pekerjaannya diteruskan
oleh Sekretaris Kedua PKI Nyoto.
"Konferensi
Investasi Indonesia"
Menyusul peralihan tampuk kekuasaan ke
tangan Suharto, diselenggarakan sebuah "Konferensi Investasi
Indonesia" (bahasa Inggris: Indonesian
Investment Conference) yang
disponsori oleh Time Inc., antara
Menteri Luar Negeri Adam Malik dan
Menteri Keuangan Sri Sultan
Hamengkubuwono IX serta sejumlah ekonom Orde Baru[butuh klarifikasi], dengan para CEO sejumlah korporasi
multinasional Eropa, Jepang, Australia, Kanada dan Amerika, di Jenewa, Swiss, pada bulan November 1967.[9][10] Tim Ekonomi Indonesia menawarkan: tenaga buruh yang banyak dan
murah, cadangan dan sumber daya alam yang melimpah, dan pasar yang besar.[butuh klarifikasi]
Hal ini didokumentasikan oleh John
Pilger [en] dalam film dokumenter The New Rulers of the World yang
menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan
perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Freeport mendapat emas di
Papua Barat, Caltex mendapatkan ladang minyak di Riau, Mobil Oil mendapatkan
ladang gas di Natuna, perusahaan lain mendapat hutan tropis. Kebijakan ekonomi
pro liberal sejak saat itu diterapkan.
Peringatan
Sejak 1967, setelah Soeharto diangkat
menjadi Pejabat Presiden menggantikan Soekarno, tanggal 1 Oktober ditetapkan oleh
Soeharto (dengan Keputusan Presiden Nomor 153 Tahun 1967) sebagai Hari Kesaktian
Pancasila. Pada masa pemerintahan Soeharto, biasanya sebuah film
mengenai kejadian tersebut juga ditayangkan di seluruh stasiun
televisi di Indonesia setiap
tahun pada tanggal 30 September. Selain itu pada masa Soeharto biasanya
dilakukan upacara bendera di Monumen Pancasila
Sakti di Lubang Buaya dan dilanjutkan dengan tabur bunga di
makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata. Namun sejak era Reformasi bergulir, film itu sudah tidak
ditayangkan lagi dan hanya tradisi upacara dan tabur bunga yang dilanjutkan.
Pada 29 September – 4 Oktober 2006,
para eks pendukung PKI mengadakan rangkaian acara peringatan untuk mengenang
peristiwa pembunuhan terhadap ratusan ribu hingga jutaan jiwa di berbagai
pelosok Indonesia. Acara yang bertajuk "Pekan Seni Budaya dalam rangka
memperingati 40 tahun tragedi kemanusiaan 1965" ini berlangsung di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.
Selain civitas academica Universitas Indonesia, acara itu juga
dihadiri para korban tragedi kemanusiaan 1965, antara lain Setiadi, Murad
Aidit, Haryo Sasongko, dan Putmainah.