Ketegangan terjadi antara Rusia-Ukraina berpotensi memberi dampak pada sektor energi Indonesia.
Serangan Rusia ke wilayah Ukraina berdampak pada kenaikan harga minyak. Pada Kamis (24/2), harga minyak mentah jenis Brent tercatat menembus ke level US$ 100 per barel atau berada di posisi tertinggi sejak 2014.
Sementara itu, harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) juga tinggal selangkah lagi menyentuh posisi US$ 100 per barel.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Rinto Pudyantoro mengungkapkan, kenaikan harga minyak berpotensi mendorong investasi.
Baca Juga: Mengukur Efek Perang Rusia-Ukraina Terhadap Ekonomi Indonesia
"Akan mendorong perusahaan minyak lebih aktif berinvestasi," kata Rinto ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (24/2).
Kendati demikian, Rinto memastikan dampaknya tidak mungkin langsung terasa khususnya bagi kegiatan produksi migas.
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal mengungkapkan kenaikan yang terjadi saat ini umumnya bersifat sementara. Untuk itu para investor cenderung belum akan mengambil sikap.
"Sedangkan mayoritas investasi di industri migas itu sifatnya jangka panjang seperti eksplorasi, program Enchanced Oil Recovery (EOR)," jelas Moshe.
Lebih lanjut dia bilang, kenaikan investasi berpotensi mendorong pendapatan negara dari penjualan migas. Kendati demikian, industri migas juga dibayangi kenaikan nilai impor minyak dan BBM.
Moshe mencontohkan, ada potensi peningkatan subsidi oleh pemerintah jika harga minyak terus meningkat.
"Kenaikan harga juga bisa nantinya dirasakan oleh masyarakat dan industri yang membeli BBM, subsidi dari pemerintah dan Pertamina akan meningkat bila mempertahankan harga BBM yang sama," kata Moshe.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji mengungkapkan, pemerintah masih mencermati lebih jauh potensi efek domino dari ketegangan Rusia-Ukraina.
"Yang bisa berdampak (ke Indonesia) jika ini berdampak ke Timur Tengah misalnya Saudi Arabia, ke Afrika. Nah itu ada dampak ke suplai di kita. jadi itu yang perlu kita cermati," ungkap Tutuka, Senin (21/2).
Tutuka pun memastikan pihaknya telah melakukan identifikasi untuk fasilitas industri migas dalam negeri yang bisa dijadikan cadangan operasional.
Adapun, saat ini stok BBM masih berada dalam kondisi aman. Selain itu, Pertamina tercatat memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku maupun BBM.
Tutuka melanjutkan, dampak lain dari kenaikan harga minyak yakni potensi anggaran subsidi bakal ikut membengkak.
"Terus terang saja kalau sudah mendekati US$ 100 an ini perlu sangat hati-hati. Dari segi penerimaan memang bertambah tapi dari segi pengeluaran dalam hal ini subsidi BBM dan LPG juga jadi sangat besar dan ini yang perlu kita hitung dengan cermat," ungkap Tutuka.
Di sisi lain, industri batubara dalam negeri juga berpotensi terpengaruh ketegangan Rusia-Ukraina.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengungkapkan, pasar ekspor berpotensi tidak mengalami gangguan pasalnya 98% ekspor batubara Indonesia menyasar negara-negara Asia Pasifik.
Di sisi lain, Rusia juga tercatat sebagai salah satu eksportir batubara terbesar di dunia.
"Jika ekspor Rusia ke beberapa negara seperti Tiongkok, Jepang, Taiwan terhambat maka ada kemungkinan adanya tambahan permintaan dari negara-negara tersebut," kata Hendra kepada Kontan, Kamis (24/2).
Hendra melanjutkan, negara lain seperti Australia juga memiliki peluang untuk menutup celah pasar tersebut.
Mengutip Statista, Rusia tercatat menguasai 18% pasar ekspor batubara global. Volume ekspor batubara Rusia pada tahun 2020 mencapai 198 juta ton dengan nilai mencapai US$ 12,4 miliar.
Ekspor batubara ke China pada tahun 2020 mencapai 29 juta ton, Korea Selatan sebesar 23 juta ton. Adapun, merujuk data Kementerian Energi Rusia ekspor batubara sepanjang 2021 mencapai 211,68 juta ton.
Sumber : www.msn.com